https://journalofserviceclimatology.org/
Ternyata Ini Alasan Para Konglomerat Tionghoa di Indonesia Ganti Nama

journalofserviceclimatology.org – Beberapa tokoh bisnis terkemuka di Indonesia seperti Djoko Susanto, Sudono Salim, Budi Hartono, dan Prajogo Pangestu, mungkin oleh sebagian orang dianggap memiliki nama-nama Indonesia asli. Namun, sejarah mencatat bahwa mereka merupakan keturunan Tionghoa dan awalnya memiliki nama-nama Tionghoa, contohnya pendiri Indomie yang bernama asli Liem Sie Long sebelum berganti nama menjadi Sudono Salim, atau pendiri Alfamart yang bernama Kwok Kwie Fo sebelum menjadi Djoko Susanto. Perubahan identitas ini terjadi sebagai dampak dari kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto.

Menurut Amy Freedman dalam karyanya “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia” yang diterbitkan tahun 2010, Presiden Soeharto mendorong asimilasi bagi etnis Tionghoa yang dianggap bukan termasuk dalam kelompok pribumi Indonesia.

Hal ini berujung pada penerbitan Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 yang menetapkan kebijakan utama terkait warga keturunan asing, termasuk etnis Tionghoa, yang harus mengubah nama mereka. Peraturan ini merupakan hasil dari sentimen negatif terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan China, yang pada waktu itu dikaitkan dengan ideologi komunis dan dianggap sebagai ancaman, khususnya setelah peristiwa Gerakan 30 September.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam identitas mereka sejak era pemerintahan Presiden Soeharto. Mereka mulai mengadopsi nama-nama Indonesia demi terintegrasi lebih baik dalam masyarakat dan menunjukkan patriotisme terhadap negara. Perubahan nama ini adalah langkah untuk menyatu dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Selain itu, Presiden Soeharto pada waktu yang sama menerbitkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yang mengatur tentang praktik keagamaan, kepercayaan, dan tradisi Tionghoa yang diberi batasan lebih ketat, mengindikasikan pengawasan yang lebih besar terhadap budaya Tionghoa.

Sikap yang diambil oleh Soeharto terhadap pengaruh China dianggap merugikan oleh banyak pihak. Mely G Tan, seorang sosiolog, dalam bukunya yang berjudul “Etnis Tionghoa di Indonesia” yang terbit tahun 2008, mengungkapkan bahwa kebijakan ini merupakan pelanggaran atas hak dasar untuk mengekspresikan budaya komunitas. Dampak dari kebijakan ini adalah penghapusan praktik kebudayaan Tionghoa.

Selama periode tiga dekade lebih pemerintahan Soeharto, orang-orang Tionghoa tidak diperbolehkan untuk mengungkapkan budaya mereka secara terbuka, termasuk berbicara dalam bahasa Mandarin dan merayakan Tahun Baru Cina.

Tambahan lagi, untuk urusan administratif, etnis Tionghoa harus memiliki dokumen-dokumen tertentu seperti Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan surat K-4 untuk memverifikasi status kewarganegaraan mereka sebagai warga negara Indonesia.

Selama era Orde Baru, walaupun terdapat restriksi dalam banyak aspek kehidupan, etnis Tionghoa diizinkan untuk berkecimpung dalam aktivitas bisnis. Dipandang sebagai pemobilisasi modal yang efektif dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi, hubungan antara negara dan pengusaha Tionghoa berkembang. Menurut van Zanden dan Daan Marks dalam “Ekonomi Indonesia” yang terbit tahun 2012, kontribusi mereka menjadi faktor penting dalam percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa tersebut.

Namun, kemakmuran sebagian pengusaha Tionghoa seringkali menimbulkan persepsi keliru di masyarakat bahwa semua orang Tionghoa adalah kaya, yang pada akhirnya berkontribusi pada sentimen negatif yang berujung pada kekerasan massal terhadap komunitas ini pada tahun 1998.

Setelah jatuhnya Orde Baru, Presiden Abdurrahman Wahid mengambil langkah-langkah untuk menghapus kebijakan diskriminatif yang telah diberlakukan. Hal ini memungkinkan komunitas Tionghoa untuk kembali merayakan budaya mereka secara terbuka, seperti perayaan Tahun Baru Cina. Walaupun demikian, pencabutan aturan diskriminatif ini tidak serta merta menghapus prasangka yang telah mengakar dalam masyarakat.