journalofserviceclimatology.org – Pada tanggal 6 Februari, Uni Eropa menyampaikan sebuah inisiatif baru untuk meningkatkan peraturan guna mengatasi masalah pelecehan seksual anak. Langkah ini bertujuan untuk memberikan jangka waktu yang lebih panjang bagi para korban pelecehan untuk menuntut keadilan dan menghadirkan pelaku di hadapan hukum.
Dubravka Suica, Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa, dalam konferensi pers menyatakan bahwa estimasi menunjukkan bahwa satu dari lima anak di Uni Eropa telah menjadi korban pelecehan atau eksploitasi seksual. Komisi Eropa sedang berusaha untuk memperluas definisi kejahatan seksual terhadap anak dengan mempertimbangkan dampak dari teknologi baru yang telah memfasilitasi munculnya bentuk-bentuk pelecehan yang sebelumnya tidak diketahui.
Melonjaknya laporan kasus di antara 27 negara anggota Uni Eropa menambah urgensi untuk tindakan ini, dengan adanya keprihatinan bahwa kemudahan akses pada teknologi AI bisa mempercepat penyebaran materi yang merugikan anak-anak.
Pada tahun 2022, Dubravka Suica menyoroti bahwa ada peningkatan laporan pelecehan seksual terhadap anak-anak di Uni Eropa, dengan total kasus mencapai 1,5 juta, naik signifikan dari satu juta kasus pada tahun 2020. Dalam menanggapi situasi yang semakin mengkhawatirkan ini, Uni Eropa sedang mempersiapkan peraturan yang diperbarui untuk memasukkan kejahatan yang terkait dengan materi eksploitatif buatan AI, termasuk deepfake yang kasar, dan penyalahgunaan dalam siaran langsung.
Ylva Johansson, Komisaris Urusan Dalam Negeri Uni Eropa, menambahkan bahwa definisi kejahatan baru akan mencakup kepemilikan atau distribusi panduan yang ditujukan untuk pelaku kejahasan seksual terhadap anak, sering disebut sebagai “buku pegangan” pedofil. Meningkatnya kasus di 27 negara anggota UE menyebabkan proposal ini akan dibahas lebih lanjut oleh Parlemen Eropa dan negara-negara anggota sebelum diputuskan secara resmi.
Dubravka Suica dari Komisi Eropa juga menekankan bahwa perkembangan teknologi dan digitalisasi telah memperburuk risiko pelecehan, baik di dunia nyata maupun online, menurut laporan AFP. Proposal komisi ini bertujuan untuk merevisi peraturan yang telah ada sejak tahun 2011, termasuk perubahan pada undang-undang pembatasan. Ini akan memperhitungkan kenyataan bahwa banyak korban baru melaporkan pelecehan bertahun-tahun setelah kejadian, dengan sering kali kehilangan kesempatan untuk menggugat pelaku. Aturan baru akan menunda masa berlakunya undang-undang pembatasan sampai korban mencapai usia 18 tahun, dengan batas waktu pelaporan yang akan berbeda, antara 20 hingga 30 tahun, tergantung pada tingkat keparahan kejahatan, untuk memastikan bahwa pelaku masih bisa dihadapkan ke pengadilan.
Selain itu, regulator di Uni Eropa kini semakin memfokuskan tuntutan mereka kepada perusahaan-perusahaan teknologi besar agar mengambil langkah yang lebih tegas dalam melindungi anak-anak di ruang online. Perusahaan teknologi ternama seperti Google dan Meta, induk perusahaan Facebook, telah berkolaborasi dalam inisiatif yang disebut Project Lantern untuk menghadapi tantangan ini.