journalofserviceclimatology.org – Beberapa negara di Asia saat ini tengah menjadi pusat perhatian sehubungan dengan masalah demografis yang kritis, yang ditandai dengan penurunan drastis dalam angka kelahiran, dikenal pula sebagai fenomena ‘resesi seks’, yang berpotensi menyebabkan krisis populasi dan kedaruratan nasional. Korea Selatan misalnya, telah mengalami penurunan angka kelahiran yang tajam, mencapai 0,72 pada tahun 2023, menunjukkan salah satu tingkat kelahiran terendah di dunia.
Sebuah laporan dari Financial Times menyebutkan bahwa jika tren ini berlanjut, diperkirakan populasi Korea Selatan bisa terpangkas hingga separuhnya di tahun 2100, menurun menjadi sekitar 24 juta jiwa.
Fenomena serupa juga terjadi di negara-negara Asia Timur lainnya seperti Cina dan Jepang, yang sama-sama mencatat penurunan signifikan dalam jumlah kelahiran.
Situasi yang serupa juga terpantau di Asia Tenggara, termasuk di Thailand dan Singapura, di mana The Straits Times melaporkan bahwa Thailand mencatat tingkat kelahiran yang sangat rendah, yaitu 1,16 pada tahun 2022, yang menyebar hampir di seluruh provinsi. Para ahli demografi memperingatkan bahwa jika keadaan ini terus berlanjut, populasi Thailand bisa berkurang menjadi setengahnya dalam enam dekade mendatang, turun menjadi 33 juta dari 66 juta.
“Populasi Thailand diperkirakan akan menurun dari 66 juta menjadi 33 juta pada tahun 2083. Jumlah populasi yang berada dalam usia produktif, yaitu antara 15 hingga 64 tahun, diharapkan akan menurun dari 44 juta menjadi hanya 14 juta,” ungkap Kue Wongbunsin, seorang pakar demografi.
Kue Wongbunsin, seorang ahli demografi, memproyeksikan bahwa populasi anak-anak (usia 0-14 tahun) di Thailand akan menurun drastis dari 10 juta menjadi hanya satu juta, sementara jumlah warga senior (berusia 65 tahun ke atas) diperkirakan akan naik dari delapan juta menjadi 18 juta. Ini berarti lansia akan menjadi sekitar 50 persen dari total populasi negara tersebut pada tahun 2083.
Di Singapura, tren penurunan angka kelahiran juga menjadi perhatian, dengan catatan angka kelahiran terendah sejak tahun 1960, yaitu 1.05 pada tahun 2022. Data dari Otoritas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan (ICA) Singapura menunjukkan penurunan sebanyak 7,9 persen dalam jumlah kelahiran bayi dibandingkan tahun sebelumnya, dari 38.672 kelahiran di tahun 2021 menjadi 35.605 pada tahun 2022.
Thailand, yang menghadapi tantangan serupa, telah melihat pemerintahnya mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah tersebut. Menurut Bangkok Post, Menteri Kesehatan Thailand, Cholnan Srikaew, telah menyatakan bahwa penurunan angka kelahiran akan menjadi agenda prioritas nasional di awal tahun ini.
Di Singapura, pemerintah telah lama menyadari masalah ini dan telah menerapkan berbagai inisiatif untuk mengurangi dampaknya selama beberapa tahun terakhir. Seperti dilaporkan oleh Business Times, pada Februari tahun sebelumnya, pemerintah Singapura mengumumkan rencana untuk memberikan dukungan kepada pasangan yang ingin menikah dan memiliki anak-anak. Inisiatif ini termasuk pemberian fasilitas perumahan Build-To-Order, insentif finansial seperti hadiah uang tunai dan subsidi, serta penambahan cuti ayah yang kini menjadi empat minggu dan ditanggung oleh pemerintah.
Penurunan angka kelahiran ini secara umum dikaitkan dengan perubahan kondisi sosial ekonomi, yang membuat banyak orang muda enggan menikah atau memiliki anak karena beban ekonomi yang berat, termasuk biaya hidup, pendidikan anak, dan faktor lainnya.